Terdampar di Mentawai – part 1
Surfer mana yang nggak tahu Mentawai? Bahkan saking bekennya, Mentawai punya julukan sayang dari para surfer : Payground-nya surfing. Yang namanya Playground pastinya tempat bermain super seru. Demikian juga Mentawai, segala macam jenis ombak dari yang sangar bak debt collector sampai yang imut dan gemesin bak chibi-chibi juga ada.
Nggak heran dong kalau Mentawai juga jadi impian saya kala itu. Maka, ketika Putri, sang reporter tv dari program traveling tempat saya freelance beberapa saat lalu telpon dan mengabarkan kalau destinasi berikutnya dari liputan itu ke Mentawai, rasanya seperti terbang ke langit ketujuh
“Le, kita ke Mentawai ya.” Suara cempreng manisnya bergema di kuping. Putri ini cukup galak diantara para reporter lainnya
“Asiik!! Ada konten surfing nggak? Gue bawa surfboard yah?” Imajinasi saya langsung melayang-layang membayangkan ombak Mentawai yang super seksi. Bawa surfboard yang mana ya? Bakal besar nggak ya ombaknya? Duh, leash sudah agak rusak nih, sempat nggak ya cari gantinya sebelum berangkat?
“Duh, ribet ah, kita nggak akan ngambil surfing, kita ke pedalamannya ngeliput suku pedalaman.” Tanpa mengindahkan perasaan seorang surfer yang memimpikan Mentawai, Putri dengan tegas menekankan tujuan liputan kami nanti. Iya sih, belum kebayang memang medan yang akan kami lalui nanti. Apalagi harus ke pedalaman. Yah, apa boleh buat. Saya terluka dan sedih. Lebih baik pasrah.
Hari keberangkatan tiba. Matahari membakar tengkuk dan memaksa keringat mengalir membasahi kaos yang saya pakai. Topi tampaknya tak terlalu banyak menolong. Suasana pelabuhan di Padang yang tak pernah sepi seakan tak mengindahkan teriknya matahari terhampar di depan mata.
Kapal-kapal kayu terparkir berjajar memenuhi dermaga. Saya, Putri dan dua orang cameramen : bang Yudi dan bang Daus, tertegun di sebelah tumpukan barang-barang kami yang jumlah dan bentuknya beda tipis dengan persiapan pulang kampung. Menggunung.
Rupanya ini merupakan pelabuhan rakyat yang melayani transportasi ke pulau-pulau di Mentawai yang memang merupakan kabupaten kepulauan. Barang-barang kebutuhan pokok hingga motor bergantian dinaikkan atau diturunkan ke kapal-kapal kayu lusuh yang bersandar malas.
Beberapa pekerja mulai melihat keberadaan kami. Satu-dua orang mulai memanggil-manggil iseng, sementara yang lainnya tetap melanjutkan kesibukannya masing-masing. Rupanya memang pelabuhan ini tak terlalu asing dengan keberadaan makhluk asing. Maksudnya para surfer-surfer yang hendak menyebrang ke Mentawai.
“Yang mana kapalnya, Da?” Putri bertanya sembari merapikan rambut-rambut halus yang menyembul dari balik kerudungnya.
“Itu yang disebelah sana, yang banyak jendelanya.” Kuatkanlah kami, Tuhan. Seketika saya berdoa dalam hati. Bentuk kapal kayu yang ditunjuk oleh Uda, guide kami, tampak lebih lusuh dari kebanyakan kapal yang parkir dengan jendela-jendela kecil berjajar disepanjang badannya. Sekilas desainnya tampak meniru kandang burung dara raksasa.
“Berapa lama sih pelayaran ke Muara Siberut?” tanya Bang Yudi. Ia merupakan cameramen senior dan minatnya terhadap kegiatan outdoor membawanya menjadi cameramen program traveling seperti ini. Sosoknya lebih besar dari orang kebanyakan dengan kulit yang gelap terpapar matahari.
“Yaaah, kalau berangkat nanti sore sampainya besok subuh.” Oke, ada yang bawa pil tidur nggak ya?
“Kita naikin barang sekarang?” Bang Daus memecah keheningan. Rambutnya yang gondrong sebahu terikat rapi. Ia memindahkan posisi kamera yang disampirkan di bahunya. Para cameramen memang tak pernah melepaskan kamera mereka meskipun pastinya lumayan pegal kalau dicangklong terus menerus seperti sekarang ini. Maklumlah, kala itu belum umum bagi tv untuk melakukan pengambilan gambar dengan kamera DSLR, apalagi mirrorless.
“Telpon saltelit ga diaktifin dulu,bang?” Putri mengingatkan sembari mengangkat tas ranselnya. Rupanya kami memiliki sebuah telepon satelit, Ah ya, tujuan kami kali ini pedalaman, akan sulit untuk mendapatkan sinyal telepon genggam.
Bang Yudi menyeka peluh yang membanjiri kening dan lehernya, “Nanti aja disana lah.”
Maka, kami segera bergabung dengan kerumunan orang-orang yang hendak memuat barang-barang mereka ke kapal. Bersaing dengan motor-motor yang didorong melewati sebilah papan ramping bak model yang menghubungkan kapal dengan dermaga.
Eh, apa itu yang berada di dalam keranjang anyaman? Oh, ternyata ayam pun ikut-ikutan menumpang kapal ini. Baik, mari kita bergabung dengan keriuhan ini.
Meskipun tampak serabutan tapi ternyata tidak membutuhkan waktu lama bagi kami untuk mencapai bagian dalam kapal, menyusuri lorong panjang yang ternyata sudah penuh dihuni para keluarga dengan anak-anak mereka. Tikar dan bantal telah malang melintang menghalangi jalan.
Beruntung kami membeli tiket dengan kamar. Meskipun tak terlalu besar, kamar kami mempunyai 4 tempat tidur yang terdiri dari dua tempat tidur tingkat. Segera saja kamar yang seberapa luas ini menjadi penuh dengan barang-barang persiapan suting kami.
Para ibu di lorong pun telah membuka bekal makanan mereka. Anak-anak mulai mencari posisi nyaman diatas bantal, menempel pada ibu masing-masing. Tak terlihat muka mengeluh. Mereka telah menerima keadaan ini dengan ikhlas. Dan memang seperti inilah potret kehidupan masyarakat Indonesia kebanyakan, apa adanya.
Saat matahari semakin rendah, Kapten kapal pun membunyikan klakson yang melengking beberapa kali tanda siap berangkat.
Here we go.
Tak terasa akibat bantuan obat tidur, saya terbangun oleh suara cempreng Putri “Bangun, Le, lo kesini bukan untuk tidur terus.” Duh galak bener ni reporter imut satu ini. Mungkin makan malamnya tadi cabe rawit sekeranjang.
Saya mengerjapkan mata. Matahari mengintip dari balik jendela kayu kamar kami. Tercium bau laut bercampur bau apek yang berasal dari kasur dan bantal yang entah berapa lama tak pernah diganti. Teman-teman yang lain rupanya sudah bangun terlebih dahulu.
Setelah merapikan diri seadanya, tanpa menggosok gigi tentunya, saya bergerak memasuki ruang kemudi dimana semua telah lebih berkumpul. Bang Yudi dan Daus masing-masing sibuk mengambil gambar suasana ruang kemudi. Pak kapten tampak menggagah-gagahkan diri di depan kamera super besar bang Yudi.
Tampak pelabuhan kayu medekat di depan haluan kapal. Kesibukan pagi para pekerja di pelabuhan, menurunkan hasil bumi dan para penumpang dari kapal kayu lainnya yang telah lebihdulu merapat merupakan kegiatan utama disini.
Selamat datang di Mentawai.
Tempat ini dinamakan Sikabaluan. Perlahan-lahan kami pun menurunkan barang-barang kami yang bak pindahan sekampung itu. Dermaga yang sibuk bermandikan sinar matahari ini serasa hangat menyambut kedatangan kami, para jurnalis yang kebingungan. Rupanya orang yang seharusnya menjadi pemandu kami tak hadir saat itu. Sementara sinyal telpon juga byar-pet nggak jelas. Jadilah kami terlunta-lunta bagai anak ayam kehilangan induk ditengah keriuhan dermaga.
“Cari tempat berteduh dulu yuk. Barang kita banyak banget soalnya.” Usul bang Yudi yang tanpa ba bi bu langsung disetujui semua orang.