Terdampar di Mentawai – Part 4

Part 1

Part 2

Part 3

“Rumah mereka ini namanya Uma,” sembari menaiki tangga kayu yang terpasang di teras rumah, bang Mochtar kembali menerangkan.

“Banyak babi di kolong rumah, bang.” Putri mengernyitkan muka menahan bau tak sedap yang menguar dari bawah rumah.

“Iya, suku pedalaman ini memang hidup bareng dengan babinya, mereka dilepas bebas di kolong rumah, diberi makan sagu. Nah, sagu itu yang baunya aduai kalau kena basah berhari-hari.”

Thanks to our availability to adapt fast, lambat laun bau mengganggu itu tak terasa lagi. Hidung kami menjadi kebal, sementara itu pak kepala suku menyambut kedatangan kami dengan ramah. Itu asumsi saya, paling nggak ia tersenyum dan megulurkan tangan meskipun mengeluarkan kata-kata yang tak bisa kami mengerti sama sekali.

Kan nggak mungkin dia bilang “Halo selamat datang, kebetulan kami sedang lapar, kalian mau jadi santapan kami?” Rasanya tak mungkin.

Uma mereka berbentuk persegi empat sederhana dengan ketiga bagian yang seharusnya ada dinding, terbuka begitu saja. Di bagian belakangnya tampak ada ruangan tertutup.

“Mereka menyimpan barang-barang keluarga yang berharga disana. Termasuk juga senjata.”

Lantai uma berupa bambu yang dijejerkan rapi. Di beberapa lokasi pada langit-langit tergantung tengkorak monyet, rusa dan babi. Rupanya selalu ada kenang-kenangan dari tiap hewan buruan mereka. Mungkinkah pada jaman dulu ada tengkorak manusia juga nyelip diantara jejeran tengkorak itu? Tanpa disadari saya bergidik.

“Untung saya bisa bahasa mereka, kalo enggak, mana mau mereka terima kita kaya gini.”Bang Mochtar menyombongkan diri. Tapi iya sih, kami benar-benar bergantung pada keahliannya berkomunikasi dan hubungan yang telah dibangunnya selama ini. Ia juga memiliki kedai kecil di Simatalu ini. Nggak jauh dari rumah kepala suku.

Tuan rumah kami tidak ada yang memakai baju layaknya kami. Mereka semua bertelanjang dada, baik pria maupun wanitanya, dan hanya memakai secarik kain di pinggangnya. Tato khas garis tampak di sekujur tubuh merek yang kering berotot.

Saya dan para tuan rumah.

Kalung berwarna warni tampak menghiasi leher mereka. Bahkan si bayi juga mengenakan kalung manik-manik berwana merah dan kuning. Mereka tampak sangat eksotis dengan caranya sendiri. Potongan rambutnya pendek berponi.  Tampaknya memang inilah model yang paling sederhana dan mudah.

Hari semakin gelap. Malam kembali datang. Barang-barang telah tertata rapi di pinggiran ruangan. Kami menempati satu bagian pojok dan keluarga empunya rumah di pojok yang berlawanan. Aneh rasanya bertamu seperti ini tapi tak bisa saling basa basi.

Malam itu karena lelah, saya dan Putri hanya memasak mie instan. Rupanya 

kegiatan kami memasak dengan kompor gas kecil menarik perhatian mereka. Masih dengan menjaga jarak, sang ibu, anak perempuan dan saudara perempuan lainnya mencuri pandang ke arah kami. Sesekali mereka menunjuk-nunjuk.

“Put, coba kasih mereka yuk kalau sudah matang.” 

Putri membawa semangkuk mi instan setelah masak, dan meletakkannya di depan mereka sembari tersenyum. Tanpa berkata apa-apa, Putri kembali ke pojok kami, memberikan kesempatan kepada mereka untuk mencobanya.

Dengan malu-malu sang ibu mengambil garpu yang disediakan dan memasukkan mi yang masih mengepul ke mulutnya. Tiba-tiba senyumnya mengembang.

“Kap mokop,” ujarnya sembari menyodorkan mangkuk tersebut kearah anak-anaknya.  “Kalian makan,” artinya. Salah satu dari mereka malah mengambil sepotong sagu yang telah diolah dan memasukkannya ke dalam mangkuk mi tersebut. 

Inilah pertama kalinya saya melihat ada orang yang makan mi instan dengan sagu. Semua mencoba dan mereka makan sembari tertawa-tawa. Sepertinya mereka menyukainya.

Tak lama, sang ibu mengembalikkan mangkuk yang telah kosong. Ia tersenyum dan berkata “Taraina.’

“Dia anggap kalian saudara wanitanya,” Bang Mochtar bantu menerjemahkan. 

Kami balas tersenyum. Sukurlah kami telah diterima dengan baik. Malam ini berakhir dengan baik.  Gambar yang telah kami rekam cukup banyak. Rasanya sepreti sedang mengerjakan program National Geography.

Pagi berikutnya, saya bangun dengan rasa sakit di sekujur tubuh. Tak terbiasa tidur pada permukaan keras, rasanya badan ini biru-biru. Belum lagi dengkuran Bang Yudi yang membahana. Nasib.

Bang Mochtar mengajak kami mengunjungi kedainya di kampung ini. Lebih kecil dari kedai sebelumnya dengan bentuk yang hampir serupa. Ruang pajang yang penuh dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari, serta ruang kecil sebagai gudang di bagian belakang.

Tak jauh dari kedai tersebut terdapat gubuk tak berdinding dengan timbangan. Rupanya untuk menimbang hasil bumi yang dibawa penduduk setempat. Kebetulan saat itu terdapat seorang bapak yang membawa beberapa ikat rotan, siap untuk dibarter. Ia sibuk menurunkan bilah-bilah rotan yang telat dikuliti ke depan gubuk tersebut.

Bisa dibilang, inilah kali pertama saya melihat orang bertransaksi dengan cara berter, tanpa bahasa Indonesia. Bapak tadi yang telah menyerahkan rotannya kemudian menuju kedai. Ia menunjuk berang-barang yang ia butuhkan : pasta gigi, sabun, shampoo, minyak goreng.. kemudia ia terdiam. Rupanya ia tidak dapat melihat satu barang yang diinginkannya.

Sepertinya ia berasal dari kampung yang berbeda karena bahasanyapun berbeda. Akirnya ia mendapat akal untuk menyampaikan maksudnya : ia mengangkat kedua tanganya, dan menunjuk kepalanya. 

“ooh, dia cari obat pusing.” Ujar Bang Mochtar. Kontan kami tertawa. Hebat juga cara mereka berkomunikasi. Terbatasnya kosakata diatasi dengan kreatifitas cara berkomunikasi yang lain. Yang penting sama-sama mengerti.

Leave a Reply