Terdampar di Mentawai – Part 3

Part 1

Part 2

Dan ternyata, jangankan mandi di sumur, menimba airnya pun kami gagal terus. Setiap kali ember kosong dilempar, setelah ditarik ke atas pun masih tetap kosong, Saya merasa gagal bertahan hidup.

“Gini caranya, embernya usahakan tegak di permukaan air, terus disentak deh
talinya, jadi embernya langsung miring dan airnya masuk sendiri.”akhirnya bang Mochtar mengajari kami.

Sore itu kami sukses mandi di antara pohon-pohon sagu, dengan kain penutup
terbentang seadanya. Untungnya bagian yang tak terlindungi oleh kain
merupakan hamparan hutan lebat. Eh, tapi apa benar-benar nggak ada orang ya? Ah sudahlah.

“Telepon satelit sudah diaktifkan belum?”
“Belum, coba sekarang kali ya?”

Bang Yudi mengeluarkan telepon satelit yang dibawa-bawanya dari Jakarta.
Berkali-kali ditekannya tuts yang entah apa artinya. Tapi berkali-kali juga raut
kesal tampak membayangi wajah bang Yudi. Tampaknya belum berhasil
aktifasinya.

“Nggak bisa, Put.”
“Aduuh, coba keluar sebentar bang, jangan kehalang atap.”
“Nggak bisa juga,” ujarnya setelah mencoba beberapa saat.
“Waduh, gimana caranya kita ngasih kabar ke kantor? Putri semakin panik.
Kewajibannya untuk selalu mengabarkan kemajuan liputan kami yang hanya
bertumpu pada telpon satelit tampaknya tak bisa dilakukan.
“Gimana nih? Masa kita balik ke Jakarta, sementara kita sudah sampai sejauh ini.”
“Kita tetap lanjut liputan?” Daus mengangkat mukanya.
“Lanjut..” akhirnya Putri mengambil keputusan.
“Em, Put..” Daus memanggil dengan ragu-ragu. Rambutnya ikalnya yang jatuh kedahi disingkirkannya dengan gerakan kikuk.
“Kenapa bang?”
“Ini, kamera nggak bisa hidup.” Akhirnya Daus mengemukakan masalah yang
rupanya sudah menderanya sesorean ini. Kamera yang dipangkunya selama
badai di perahu tadi tak bisa diselamtkan dan ketika dibuka bungkusnya
terdapat air yang menggenang di dalamnya.

“Aduh, kita bahkan belum mulai liputan. Kenapa sih semua masalah datangnya
berbarengan?” Putri memang bukan yang paling senior di grup kami, tapi
posisinya sebagai reporter membuatnya mengemban semua tanggung jawab ini. Kasihan dia.

“Mau nggak mau kita maju terus suting hanya dengan satu kamera.” Mulutnya
mengerucut, sementara dahinya yang mulus semakin berkerut. Malam itu meskipun tertimpa masalah bertubi-tubi, kami tetap tertidur nyenyak.
Lelah dengan kejutan bertubi-tubi. Mempersiapkan diri untuk perjalanan jauh
berikutnya. Semoga esok hari masalah kami mendapat jalan keluar.

Tak terasa sudah harus bangun. Rasanya baru saja memejamkan mata. Suara
burung-burung bercengkrama menembus bilik kayu tempat kami tidur semalam. Udara terasa sejuk dan segar. Udara hutan yang alami, menyebarkan bau dedaunan dan tanah lembab oleh butiran embun.

Barang-barang segera dikumpulkan kembali, bersiap untuk melanjutkan
perjalanan. Putri dan saya menyiapkan sarapan untuk seluruh tim. Nasi telah
ditanak, telur dan sardine kaleng juga telah siap dihidangkan. Makan seadanya.

“Hari ini kita harus jalan kaki beberapa jam ya. Saya nggak tahu kita akan butuh
waktu berapa lama untuk mecapai desa Sapoka, karena bawaan kita cukup
banyak. Desa Simatalu masih lumayan jauh. Tapi akan ada 2 orang warga lokal
yang jadi porter kita.”

Kami segera berangkat kembali menyusuri hutan. Masing-masing memanggul
bagiannya. Putri dan saya membawa ransel kami masing-masing, sementara
Bang Yudi dengan kamera besar mendapatkan pengecualian tak perlu membawa barangnya karena beban kamera yang sudah terlalu berat. Belum lagi ia harus beregerak bebas untuk mengambil gambar.

Para porter membawa perlengkapan memasak dan bahan makanan kami.
Mereka berjalan tanpa alas kaki dengan dada telanjang yang memamerkan
keindahan tato di badan mereka yang berotot. Masing-masing membawa blobok, tas anyam bundar yang menjadi ransel mereka.

Agak susah berjalan di belakang mereka, karena cawat yang mereka kenakan
memperlihat kulit pantat mereka cukup banyak. Jadi serba salah. Saya memperhatikan tekstur wajah dan kulit mereka, Bukan, bukan karena
tergoda dengan bentuk tubuh yang bagus ya, tapi saya kagum dengan warna
kulit mereka. Percaya atau tidak, mereka memiliki warna kulit yang cerah,
dengan titik-titik freckles yang biasa terlihat di wajah para model yang berasal
dari Eropa TImur. Well, biasanya memang orang-orang dengan ras berkulit putih biasa memiliki freckles seperti ini, termasuk orang-orang dari daratan Cina.

Yes, mereka mirip banget dengan orang-orang Mongol yang terdampar di tengah hutan. Menarik.

Beruntung jalur yang kami lalui siang itu landai. Jalan setapak pun telah
terbentuk dari seringnya warga setempat bolak-balik antara perkampungan dan sungai yang terletak di ujung jalan setapak tersebut. Hanya tiga berjalan sebelum akhirnya kami menjumpai sungai tersebut. Sungai berair coklat yang mengalir tenang. Tak terlalu besar, mungkin hanya sekitar 5 meter lebarnya. Ilalang tumbuh subur di kiri kanan bibir sungai itu. Beberapa perahu kayu tradisional milik warga yang akan kami pakai telah terparkir manis.

“Yak, ini pompong kita, ambil tempat masing-masing ya.” Bang Mochtar
menunjuk ke deraten Pompong yang merupakan nama setempat dari perahu
kecil itu. Hanya muat 4 orang per pompong, dan sangat tidak stabil. Meskipun
kecil tapi masing-masing dilengkapi dengan mesin kecil juga. Wah pastinya ini
merupakan satu bentuk kememawah : tak perlu mendayung.

Perjalanan melalui sungai ini, lumayan singkat untuk ukuran perjalanan kami
selama di Mentawai. Hanya dua jam. Lumayan banget bisa mengistirahatkan
kaki, meskipun beberapa saat kemudian timbulah rasa pegal karena kelamaan
berjongkok dengan posisi yang sama.

Simatalu. Tujuan akhir kami di Mentawai, akhirnya terlihat. Rumah panggung
kepala suku menyambut kami. Wow, ternyata seperti ini rumah asli suku
pedalaman. Saya tak habis-habisnya merasa kagum. Kagum dengan keaslian cara hidup mereka.

Bersambung part 4.

Leave a Reply