Ketidakpastian kami berlanjut hingga malam hari, sampai akhirnya seseorang
yang ternyata merupakan calon pemandu kami datang ke penginapan dan
mengajak kami menuju ke rumah kakaknya.
“Maaf sekali tadi pagi saya tidak bisa jemput kalian. Ada masalah, dan sepertinya juga saya tidak bisa temani kalian seperti yang dijanjikan sebelumnya.”
“glek,” Kami kontan saling pandang. Kok, seenaknya begini sih. Mana kami sudah jauh-jauh datang ke tempat ini.
“Tapi jangan kawatir, saya kenalkan pada kakak saya ya. Dia ini punya bisnis di
sepanjang pantai barat pulau Siberut ini. Nanti sekalian ikut dia karena sudah
waktunya dia mengunjungi lokasi barternya.” Hah? Barter? Emang apa yang
salah dengan mata uang? Tahun berapa sih ini? Duh, jangan-jangan kami naik
kapak kembali ke masa lalu. Kapal Time Machine gitu.
Kami memasuki sebuah rumah kayu yang tampak lusuh namun terang
benderang bagian dalamnya. Setelah melepaskan sepatu dan sandal masing-
masing di teras kayu, berbondong –bondong kami memasuki rumah tersebut,
sedikit berdebar menunggu kepastian nasib kami di beberapa hari mendatang
nanti. Kami akan sangat tergantung pada orang yang akan dikenalkan malam ini.
“Kenalkan, ini bang Mochtar.” Berdiri seorang pemuda di usia akhir 30 an
berkulit gelap dengan sudut rahang tegas memandang kami dengan ramah. Ia
menyodorkan tangannya.
“Halo, kalian dari Jakarta ya” Kami menyambut uluran tangan bang Mochtar,
berusaha mengimbangi keramahannya sembari menyebutkan nama masing-
masing.
“Saya punya beberapa kedai di sepanjang pantai Barat pulau Siberut ini. Barang-barang kebutuhan sehari-hari yang sederhana tapi sulit mereka dapatkan saya sediakan disana. Mereka tidak punya uang, dan uang juga tak ada gunanya bagi mereka. Jadi kami pakai system barter. Saya menerima rotan dan kopra dari penduduk setempat.”
Oh wow! Nah ini dia businessman sejati. Melihat peluang dan memanfaatkannya. Hasil bumi tersebut pastinya berharga jauh lebih mahal dibanding barang kebutuhan sehari-hari tersebut.
“Nah kebetulan besok saya berangkat, dan saya punya kapal kayu sendiri, bakal lebih hemat juga untuk kalian. Kita bisa saweran bayar bahan bakar.” Kami berpandang-pandangan senang.
Ha! Good deal!
Maka keesokan harinya berangkatlah kami menumpang perahu kayu Bang
Mochtar menuju tujuan kami berikutnya : Desa Simalegi. Dan yang saya
maksudkan dengan perahu ini beneran perahu kecil yang hanya cukup untuk
satu orang duduk berbaris ke belakang, tanpa tudung. Jadi semua harus siap
terpapar panasnya matahari Mentawai pagi itu.
Daus duduk paling muka, diikuti saya, Putri dan Bang Yudi yang paling belakang sebelum akhirnya Bang Mochtar sendiri yang memegang kendali mesin. Barang bawaan kami tersusun rapi pada lantai kayu perahu tersebut, ditutup terpal sehingga lumayan terlindungi dari cipratan air laut dan sinar matahari.
Jalur perjalanan yang diambil tak terlalu jauh dari daratan, dengan kata lain kami menyusuri daratan. Terlihat pohon-pohon kelapa berjajar sepanjang pantai. Tapi tak terlihat rumah penduduk maupun pondok di sepanjang pantai.
Bang Yudi dan Daus memeluk kamera masing-masing yang telah dibungkus
plastic sampah besar. Untung kami sempat membeli plastic sampah, karena di
depan saya melihat awan gelap telah bergantung rendah di ufuk.
“Sebentar lagi bakal hujan di depan.”
“Di belakang juga loh.”



Hah? Ternyata kami terjebak di tengah-tengah. Dan tak lama kemudian, saya
merasakan titik-titik air di muka dan tangan yang terbuka. Semakin lama, baju
yang saya kenakan semakin kuyub. Tak satupun diantara kita yang bisa berkutik. Semua pasrah menunduk sementara perahu tetap melaju dengan kecepatan stabil.
“Kamera! Hati-hati kamera!” Putri tampak cemas seiring semakin tingginya
curah hujan siang itu. Kedua cameramen semakin erat memeluk kamera mereka. Kalau sampai ada apa-apa dengan kedua peralatan mahal tersebut, tanggung jawabnya tentu tidak main-main.
Tiga jam perjalanan rasanya seperti seabad. Dingin dan melelahkan, taka da
ruang untuk beristirahat bagi kami di perahu. Tiba-tiba bang Mochtar yang
sedari tadi hanya diam berteriak berusaha mengalahkan suara mesin yang
menderu “Sedikit lagi sampai!.”
Sukurlah. Akhirnya sampai juga. Terlihat beberapa pemuda keluar dari balik
barisan pohon kelapa di tepi pantai, siap menyambut perahu kami yang semakin mendekat. Darimana mereka tau kalau kami mau datang ya?
Teriakan-teriakan memberi aba-aba dari bang Mochtar kepada para pemuda
dalam bahasa setempat menggerakkan mereka menyambut perahu kami.
Dengan sigap, mereka juga membantu kami turun dan menurunkan semua
barang-barang kami termasuk barang persediaan untuk kedai. Aneh rasanya melihat para pemuda asli Mentawai ini hanya menggunakan semacam kain yang melilit pinggangnya dan melingkar melalui selangkangan. Sekujur tubuh mereka dipenuhi tato garis khas Mentawai, dan di pinggang
mereka terselip parang.
“Biar orang-orang kanibal ini yang membawa barang kalian.”
“Emangnya mereka kanibal?” saya kaget sekaligus ciut mendadak.
“Hahaha, enggak lagi sekarang. Kalau dulu iya. Lagian mereka nggak ngerti
bahasa Indonesia.” Bang Mochtar benar-benar diatas angin dengan posisinya,
apalagi kemampuannya menguasai bahasa setempat membuatnya mudah
diterima, bahkan sedikit dipuja. Kedatangannya setiap bulan selalu ditunggu-
tunggu, karena artinya banyak barang baru yang bisa ditukar dengan hasil bumi.
Tak jauh kami berjalan ketika terlihat kedai bang Mochtar tersembunyi malu-
malu diantar rimbunnya pepohonan kelapa dan sagu. Tampak beberapa warga
desa yang entah dimana letaknya itu, berkerumun dan menyambut kami sembari terbelalak. Rupanya memang tak banyak pendatang yang mampir kemari. Bahkan menurut bang Mochtar, semenjak Indonesia merdeka, tak sekalipun desa mereka disambangi pihak pemerintaha. Hanya kru National Geography yang pernah ke desa mereka.
Kedai ini hanya punya satu ruang depan tempat berjualan, satu ruangan lagi di
bagian belakang tempat menyimpan persedian barang-barang yang besar dan
satu ruangan lagi untuk kamar. Rupanya disinilah bang Mochtar tidur kalau
sedang berkunjung. Para cewe-cewe mendapatkan kamar tersebut, sisanya akan tidur menyebar di ruang depan.
“Hmm, cukup nyaman juga.” Saya menilik bilik itu. Dindingnya tentu saja kayu.
Jendelanya berdaun pintu dan bisa dibuka keluar. Di lantai terhampar dua buah
kasur lipat yang sudah kusam. Masing-masing mendapat satu bantal kepala.
Bahkan ada selimut juga.
“WC dimana ya?” Putri mulai celingukan. Pertanyaan bagus.
“Oya, disini nggak ada kamar mandi, tapi ada sumur di bagian belakang. Ada kain penutup juga tapi bagian sampingnya terbuka semua. Kalian saling jaga aja ya kalau mau buang air atau mandi.”
Putri dan saya pandang-pandangan cemas. Oh, no.
bersambung