Welcome to my site, please enjoy your journey through my writing, mostly about doing adventure around and tips. I'm a female surfer from Indonesia, and currently doing video blogging on Wet Traveler channel. Enjoy!
“Kapal cepat tidak jalan, Kakak. Ferry lambat juga.”
Satu kalimat keluar dari mulut Yos, si hitam manis yang bertugas mengurusi
tamu di penginapan kami, yang berada pada sebuah desa kecil di tepi pantai
Nembrala, Rote.
Saya yang tadi sibuk berkutat dengan handphone, perlahan-lahan
mengangkat kepala. Berharap salah dengar. Berharap saya saja yang kurang
menangkap kalimat singkat yang diucapkan dengan logat Rote yang kental.
Pak Jeremiah menjelaskan arti lagu yang dia dendangkan sembari merakit Sasando.
Mereka bilang Sasando itu asalnya dari Rote.
Mereka bilang Sasando itu buah mimpi seorang masyarakat lokal Rote yang tidur karena kelelahan di bawah pohon. Begitu saja bagai mendapatkan wahyu.
“Wahai anak manusia, ini desain untuk membuat alat musik petik, ini bahannya, ini manual booknya.” mungkin begitu suara yang muncul di mimpi dia ya.
They said Sasando is from Rote.
They said, Sasando was given from someone’s dream. Just like that. It’s just like there’s a voice inside his dream that tells about how to make music instrument from bamboo with strings.
Singkat cerita, gue pengen mengunjungi lokasi pembuatannya, mumpung lagi surftrip ke Rote. Percaya atau nggak.. saya SUSAH MENEMUKANNYA. Dari informasi yang diterima dari warga lokal sih mereka bilang di Kupang ada ahlinya. Loh kok malah Kupang ya..
I want to see the maker during my transit for a surf trip in Rote. But believe it or not, it’s so hard to find. The local said, I can find him in Kupang, the city in main island of Timor. Hmm..
Berbekal informasi warga pula, sampailah gue di desa Oebelo. Nama daerah dengan awalan ‘Oe’ di Timor ini sama lumrahnya dengan awalan ‘Ci’ di Jawa Barat, yang artinya juga ternyata sama : air. Lokasinya nggak jauh dari Kupang. Kira-kira 40 menit dari Kupang ke arah So’E. Lokasinya pun mudah ditemukan karena berada di tepi jalan.
Oebelo village is where the Sasando maker lives, just 40 minutes from Kupang. Very easy, only one way to So’E and they put big plang just beside the main road. Oe means water in timor language. And many areas name begins with ‘Oe’.
Tanpa disangka tanpa dinyana, sambutan yang ada ternyata lebih dari yang diharapkan. Pak Jeremiah Pah, sang maestro, keluar menyambut, lengkap menggunakan baju daerah dan topi Ti’ilangga. Ini yang namanya profesional.
Jeremiah Pah, the old man that makes the Sasando is very professional. He greet me with his tradisional costume, also wearing Ti’ilangga, the traditional hat.
“Saya sudah mempelajari Sasando ini turun temurun dari orang tua, naah ini anak ke sepuluh, sudah jago juga main Sasandonya.” Sejenak benak saya sibuk mencerna kata-kata anak ke-10. Maaak banyak bener anaknya!! Tapi memang si anak mahir banget memainkan jari-jarinya di atas batang bambu yang menjadi tambatan senar-senar yang terlihat ribet itu.
“I learned it from my parents, it passed through generations in our family. My tenth son also plays well.” I tried to focus on the ‘tenth’ word. Wow.. so many kids he has! The kids play very good. He seems to had no trouble to pick the strings that looks so complicated.
Bahan-bahan pembuatnya pun sederhana. Haik atau tutupan di depannya yang melengkung seksi itu terbuat dari daun lontar tua yang telah dijemur kering. Berfungsi sebagai media resonansi untuk memperkuat suara. Sebilah bambu ditanam di tengahnya, beserta para senar-senarnya yang bisa berjumlah hingga 52 itu. Kok banyak? Ternyata bukan hanya sekedar melody, tapi juga bagian bas juga masuk. Makanya disebut all in one.
The material also very simple. “Haik” or the cover, made from old Lontar leaves that already dried in the sun, and has function to resonance the sound. A piece of bamboo was put in the middle as tether for the strings. Not just melody that played, but also the chords. All in one.
Lagu yang sempat pak Jeremiah mainkan namanya Ai La Do. Bercerita tentang seorang lelaki yang meyebrangi lautan untuk bertemu dengan kekasihnya. Gue langsung membayangkan sang lelaki itu yang melepas lelah di tengah laut sembari memetik Sasandonya, melepas kangen pada kekasihnya. LDR pastinya yaa diaa….
Jerimah Pah plays Ai La Do song, the song from Rote folklore. The story is about a man who crossing the ocean to see his lover. Well it must be a very long distance relationship than….
Setiap daerah itu punya ‘label’nya sendiri-sendiri. Contohnya Bali itu terkenal sebagai pusat surfing Indonesia, Raja Ampat bagus untuk diving, Bunaken bagus buat diving, Mentawai itu kesannya primitif tapi surganya bagi para surfer, orang Padang itu jago dagang #loh… Nah Rote yang terletak di bagian selatan NTT ini juga mempunyai label yang sudah dikenal sebagai daerah yang memiliki salah satu ombak kiri terbaik di Indonesia. Kali ini saya kesana untuk… diving!! J
Beberapa kali Mike, yang memegang dive operator di penginapan Anugerah menawari untuk mencoba diving di Rote, namun karena terlalu sibuk dan terpana oleh ombak Nembrala yang terus begulung secara konsisten di depan penginapan, tawaran diving selalu lewat begitu saja.
Pada kesempatan ini, bareng Pinneng sebagai tukang fotonya, kami menjelajahi daerah sekitar pulau Ndana, pulau terselatan yang menjaga perbatasan wilayah laut antara Indonesia – Australia. Pulau mungil tersebut hanya didiami oleh kurang lebih 25 orang marinir yang berjaga siang-malam. Tapi dengar-dengar sih selain berjaga mereka juga mempunyai sampingan sebagai produsen mebel. Cara mengisi waktu yang menguntungkan hehehe…
Perjalanan menuju titik diving pertama ini memakan waktu sekitar satu jam dengan kondisi dijamin kuyub karena saat itu angin sedang kencang-kencangnya, membuat permukaan laut berombak dan memercik ke dalam boat. Swell yang besar dating begulung-gulung membuat kapal tidak bisa terlalu cepat juga, berasa melewati polisi tidur berkali-kali deh.
Berhenti di pulau kecil, yang tepat bersebelahan dengan pulau Ndana, bernama Hiliana, kami langung melakukan persiapan. Salah satu tamu yang ikut adalah seorang surfer yang telah lama tidak diving. Rupanya memang lokasi ini untuk semua level, apalagi rata-rata tamu penginapan adalah surfer, diving memang belum menjadi prioritas.
Lengkap rasanya, setelah diving di pulau ter-utara Indonesia, sekarang bisa diving di pulau ter-selatan. Dan apa yang berikutnya saya lihat benar-benar diluar dugaan… Taman laut beraneka warna dan bentuk coral sehat yang sangat padat.
Dua kali kami menyelam, dua-duanya tidak mengecewakan meskipun visibility sekitar 10-15 meter. Bahkan ada wall juga yang padat digantungi beragam coral, mulai dari soft coral hingga sponge coral. Yang lucu sih ada seekor lion fish diantara rimbunnya soft coral, memberi kesan ia sedang ‘terbang’ di sela-sela dedaunan, layaknya burung yang bermain-main di sebatang pohon. Saya selalu membayangkan lokasi di dalam laut saat dipindahkan ke darat.
Table coral yang besar juga mudah kami temui. Menjadi objek yang indah untuk difoto. Lokasi yang tidak terlalu dalam, hanya sekitar 25 meter, membuat sinar matahari masih leluasa menembus masuk meskipun visibility tidak terlalu jauh. Bagaimanapun juga, lebih mudah bercerita dengan visual, selamat menikmati foto-foto dibawah ini..