![]() |
pic.by @ricky99099 |
![]() |
sumber : kphciamis-perumperhutani |
Jalan masuknya tidak terlihat dari luar. Dan setelah mendekatpun hanya tampak celah sempit dimana kita harus rappling turun tanpa dapat melihat dasar dari gua tersebut. Saya nggak merasa perlu menyembunyikan kepucetan wajah yang pastinya terlihat jelas, walaupun berharap blush on yang disapukan masih menolong sedikit hahaha…
Siapa sangka tanpa perlu melakukan perjalanan terlalu jauh dari Jakarta pun, kita bisa melihat gua purba yang sespektakuler ini. Gua Buni Ayu, yang terletak di desa Kerta ANgsana, kecamatan Nyalindung, Sukabumi, yang memang merupakan wilayah bertekstur karst , merupakan gua dengan tiga tingkat aliran sungai bawah tanah.
Gua yang terbentuk kira-kira 60 juta tahun silam ini mengharuskan setiap pengunjungnya untuk melakukan rappling sedalam 30m sebelum memasuki sebuah ruangan yang besar, seluas 35 meter, suatu pemandangan yang drastis berubah dari lubang sempit ke chamber mahaluas.
Chamber yang awalnya terbentuk karena tekanan air dari aliran dua arah sungai purba, yang memasuki celah retakan, membentuk pusaran sehingga mengikis dinding batu yang mengandung kapur sehingga membentuk ruangan bundar.
Perjalanan sepanjang 2,5km dimulai langsung disambut aliran sungai. Perlu hati-hati juga kalau mengunjungi tempat ini di musim hujan. Debit air yang naik mendadak dapat mempertinggi dan menguatkan arus sungai. Saat kami masuk sih hanya sebatas dengkul. Oya, tidak perlu kawatir dengan udara dingin walaupun kelembapan mencapai 90%, karena sebelum turun kami semua diberikan baju khusus yang hampir menyerupai kostum Naruto
Stalagtit dan stalagmit bertebaran dimana-mana. Kalau mengingat laju pertumbuhannya yang hanya 1mm pertahun, bisa dibayangkan lamanya proses pembetukan hingga pada kondisi yang bisa disaksikan sekarang. Crack yang terdapat di dalam langit-langit goa pun tampak sudah terisi dengan stalagtit kecil yang memang sifatnya selalu menutupi celah dengan kandungan kapurnya.
Jalur gua yang berlika-liku mengikuti sifat air yang selalu mencari jalan menuju titik yang lebih rendah -serta mengikis batuan yang lebih lunak. Pada beberapa titikpun terlihat bekas aliran kuat yang terdeteksi dari permukaan dinding gua yang tajam terkikis. Pada bagian yang ekstrim bahkan Nampak seperti ujung kampak.
Mencapai pertengahan goa, peralihan antara bagian basah yang dialiri air dan bagian kering, kami melihat krack yang cukup besar. Tidak heran aliran air jatuh semua kebawah dan membentuk aliran sungai ketiga dibawahnya. Sempat juga mencoba mematikan semua penerangan walaupun hanya beberapa detik saya, membuat rasa takut ruang tertutup bisa muncul mendadak menari-nari memenuhi kepala.
Sebelum memasuki tahapan terakhir, terdapat jalur 250m meter yang harus dilalui secepat mungkin, terutama saat musim penghujan. Sempit dan deras. Sangat sulit untuk menyelamatkan diri kalau banjir datang mendadak. Kecuali kalau sempat memanjat ke permukaan yang lebih tinggi.
Tahapan terakhir, tahapan yang paling menyulitkan. Bagaimana tidak, jalur berlumpur yang selalu menghisap sepatu kita sangat menguras tenaga. Rasanya bonggol paha seakan mau copot dari pinggul. Tangga tali kecil yang bertujuan untuk membantu kita keatas pun hampir tak menolong. Semua rasanya licin!
Walaupun gua sangat panjang, tapi tidak pernah kehabisan aliran udara. Oksigen yang terbawa oleh aliran air sangat menolong sirkulasi udara dalam gua. Tanpa terasa waktu 4 jam pun berlalu. Titik terang mulai terlihat di depan. Dan kami pun akhirnya keluar gua dengan wujud yang nyaris sulit dibedakan antara selesai caving atau selesai mengerjakan sawah…
absen baca gan !
waktu nnton di Trekker, jalan kluarnya susah ya mbak? soalnya nerobos lumpur kan?! 🙂
beda jalan masuk ma keluarnya 🙂 kelelawar ya pasti ada hehehehe
serru bnget… tp apa ga ada kelelawar mbak? trus jln kluarnya beda ma jln masuk yak? hihi 🙂
wow keren…seperti ngeliat behind the scene-nya sanctum