Surfing di Indonesia identik dengan gaya hidup pesisir. Kalau Bali sih jangan ditanya lagi. Selain gaya hidup, surfing telah menjadi industri utama di bidang pariwisatanya.
Selama pengalaman saya surfing ke berbagai lokasi di Indonesia, di dalam benak saya surfing itu adalah : desa pesisir, jalan tanah, penginapan sederhana atau justru eksklusif mahal ga karuan, makan ikan bakar di pasir dan puskesmas desa untuk pertolongan pertama.
Ternyata selain Bali, ada satu lokasi dimana kita bisa menggabungkan antara surfing dan suasana kota besar… Padang.
Kota yang terletak di Sumatra Barat ini memang berada di pesisir, biasanya menjadi tempat transit bagi para surfer yang akan melanjutkan perjalanan ke Mentawai dimana ombak-ombak terbaik dunia bertaburan bak gerobak gorengan di lapangan alun-alun pada sore hari.
![]() |
sign super menggoda di bandara Padang |
![]() |
bareng Febrie ‘Rohaye’, the one and only surfergirl di Padang |
![]() |
onde mandeee… asiknya bersantai di Purus sore-sore, bareng tim Trekker B Channel, Agus dan Dodo |
Padang juga menjadi homebreak bagi Febrie ‘Rohaye’, salah satu dari segelintir surfer wanita yang berprestasi di seri kompetisi surfing nasional ISC. Sempat menjadi ambassador salah satu brand surfing dan ikut berkompetisi di berbagai lokasi seperti di Bali, Jawa barat dan Rote.
Sempat menempati posisi 2 sebagai surfer terbaik, Rohaye memang sempat menjadi tulang punggung keluarganya yang tergolong kurang mampu. Beberapa kali saya sempat mengunjungi rumahnya yang terlaetak tak jauh dari pantai Purus, tempat berlatih surfing tiap kali ombak memungkinkan. Namun kini ia tidak lagi membawa nama brand tertentu, yang pastinya hal itu sangat memberatkan baik Rohaye sendiri maupun keluarganya.
Saya sempat ingat ketika dalam salah satu pro tour di Bali, kami dapat jatah sekamar. Ketika itu ia gagal untuk masuk final, selain sangat sedih, keluarganyapun menanyakan dengan sangat detil dan berkesan menyalahkan dirinya yang gagal membawa pulang trophy. Tidak bisa disalahkan juga, industry surfing ini memang banyak menjadi harapan bagi surfer-surfer kurang mampu untuk menolong, meningkatkan taraf hidup kleuarganya. Tapi melihatnya terbebani tanggung jawab demikian besar.. Rasanya belum waktunya bagi anak seumurnya. ( saat itu ia sekitar 16 tahun )
Semoga dengan kemampunnya, satu saat ia akan mendapatkan apa yang selalu diharapkannya..
Pagi itu, saya dan Rohaye surfing di pantai Pasir Putih, atau yang disingkat dengan pasput. Point ini menjadi favorit semenjak ombak pantai Purus hilang karena pembangunan dam pemecah ombak yang sebenarnya tak perlu dibangun. Hal yang umum terjadi di Indonesia.. Belum lagi soal sampahnya yang mejadi ajang uji nyali, kebayang lah ujung muara sungai yang melintasi sebuah kota besar.
Ombak Pasput sendiri bagus saat mid tide ke low tide. Terlalu penuh membuat tenaganya hilang. Point left dan right bergantian muncul, membagi-bagi para surfer sehingga tidak menumpuk di satu point saja.
Ombak pasput sekualitas dengan halfway atau Padma di Bali, dan sangat konsisten jika swell mengijinkan. Bedanya, kalau surfing di padang, terutama bagi surfergirl… pakailah baju selonggar mungkin, sangat tidak lumrah bagi mereka untuk melihat surfergirl dengan bikini. Apalagi lokasi surfingnya termasuk di kota.
Semua tempat ada positif dan negatifnya, kalau menurut standar saya tidak bisa menggunakan bikini saat surfing itu adalah negatif, yang pastinya berbeda dengan standar orang lain.. positifnya adalah, masakan padang yang siap menunggu kita kala selesai surfing, atau yang disebut juga denga nasi kapau.
Kebayang kalau di Jakarta ada ombak sebagus ombak Pasput ini, mungkin kita akan surfing bersama dengan lokal Tanjung Priuk, atau Tebet boys.. atau Tanjung Duren boys… yang paling jauh datang dari Cinere boys hahahahaha… Macet pasti laut.
![]() |
Poto2 ama warga Padang setelah sesi surf di Pasput |
![]() |
Rohaye menghajar lip |
![]() |
im going leeeeft |
![]() |
hit the lip |
naaah belum tau lagi tu 🙂
Keren mba al…”bilo ka padang lai?”
Hehe…
Sering2 torehkan surfer lokal AL….
http://braveheartstudio.weebly.com
@Rustazali
Ho gitu, padahal percaya atau tidak saking amazed-nya dulu jaman SMA -sampe sekarang sih sama mba motorku tak kasih nama “Hanna Krupskaya”
ternyata itu dari pak produser ya,
okay, tetap sehat dan semangat mba !
Halo juga, wah tau juga jaman dulu di TV One ya hahaha.. iya nama Krupskaya itu buatan produsernya, dan saya masih terlalu lugu dan blom berani protes, maklum anak baru 😀 Tapi sekarang tidak ada alasan untuk tidak menggunakan nama asli yang diberikan orang tua saya, so… tidak perlu mengganti Hanafiah kan 🙂
Font.. ok nanti diubah, thanks yaa
Waaa ketemu juga blog si mba !!!
haha, bagaimanakah kabar mba kece yang satu ini ?
ohya, seingetku dulu ada nama “krupskaya” nya kan, kemanakah dia sekarang ?
btw, font blognya kicil banget ~.~
Si Keren Gemala
wah…hal yang gak pernah terbayang sebelumya kalo laut jadi macet…bhahahahahaha